(Refleksi Hari Guru ke-80)
Ketua Umum DPP Asosiasi Dosen dan Guru Indonesia (DPP ADGI: 2022-2027)
Guru dan dosen bukan sekadar profesi teknis, tetapi agen peradaban (civilization builders). Mereka adalah sosok yang membentuk akal, karakter, dan masa depan bangsa. Namun di Indonesia, peran yang sangat mulia ini masih belum mendapatkan penghargaan layak, terutama dalam aspek kesejahteraan ekonomi.
Rendahnya gaji guru dan dosen menciptakan paradoks filosofis: negara mengharapkan kualitas pendidikan tinggi, tetapi tidak memberikan jaminan hidup yang cukup kepada mereka yang menjalankan mandat tersebut.
Fenomena ini bukan hanya persoalan teknis birokrasi dan politik anggaran, melainkan persoalan filosofis terkait cara pandang bangsa ini terhadap nilai pendidikan, martabat intelektual, dan keadilan sosial. Oleh sebab itu, masalah kesejahteraan guru dan dosen menjadi refleksi pada hari guru ke-80 di Indonesia.
Filosofi Profesi Guru dan Dosen
Mengutip pemikiran John Rawls tentang justice as fairness, keadilan mengharuskan negara memberikan distribusi kesejahteraan yang proporsional sesuai kontribusi dan peran sosial. Guru dan dosen berperan strategis dalam membentuk kompetensi bangsa, sehingga secara moral seharusnya memperoleh perlindungan ekonomi yang memadai. Belum lagi soal guru mengaji pada Taman Pendidikan Al-Qur’an (TPQ) dan guru madrasah swasta di seluruh Indonesia, diperkirakan 90% mengajar tanpa pamrih dan mau menerima apa adanya, sekadar uang bensin dan transport.
Rendahnya gaji mereka menunjukkan, masyarakat masih menempatkan pendidikan bukan sebagai public priority, tetapi public rhetoric—dihormati dalam pidato, diabaikan dalam anggaran.
Perspektif Etika Profetik
Dalam etika profetik Islam, profesi pendidik merupakan manifestasi sifat tabligh, amanah, shiddiq, dan fathanah. Mereka adalah pewaris misi kenabian dalam membangun masyarakat berilmu. Secara filosofis, ketika negara tidak memberikan penghormatan ekonomi yang layak kepada para pendidik, maka negara sesungguhnya mengurangi kemuliaan tugas profetik itu sendiri.
Filsafat Negara: Pendidikan sebagai Investasi Peradaban
Soekarno pernah mengatakan, membangun bangsa berarti membangun manusianya. Namun dalam filsafat kebijakan, alokasi anggaran mencerminkan “hierarki nilai” negara. Jika guru dan dosen masih memperoleh gaji minim—bahkan ada guru honorer dengan pendapatan di bawah UMR—itu mengindikasikan, pembangunan sumber daya manusia belum ditempatkan sebagai proyek utama peradaban bangsa Indonesia.
Akar Permasalahan dan Tantangan Aktual
Guru dan dosen di Indonesia memiliki beragam status: PNS, PPPK, honorer sekolah, tetap/ kontrak Yayasan. Fragmentasi ini menciptakan kesenjangan penghasilan yang tajam. Banyak guru honorer menerima gaji Rp300.000–700.000 per bulan. Guru dan Dosen dengan perjanjian kerja di sebuah Yayasan, misalnya, ibarat kerja rodi. Honor dan gaji mereka jauh di bawah standar; itupun hanya untuk membayar biaya untuk penerbitan jurnal, yang bagi dosen sabagai satu kewajiban, bahkan dibayar per SKS, bukan per bulan, membuat stabilitas hidup dosen swasta khususnya, semakin sulit.
Ketidakseragaman ini melemahkan martabat profesi guru dan dosen sebagai professional class. Padahal UUD 1945 mengamanatkan anggaran pendidikan 20% APBN/APBD, sebagian besar habis untuk belanja birokrasi, bukan untuk kesejahteraan tenaga pendidik. Dana pendidikan masih terlalu banyak terserap pada struktur administrasi, khususnya Perguruan Tinggi Negeri.
Beban Kerja Tinggi, Penghargaan Rendah.
Di satu pihak guru dan dosen dituntut: mengajar berkualitas, menyusun perangkat pembelajaran, mengikuti sertifikasi/akreditasi, menghasilkan penelitian bahkan wajib outcome based, melakukan pengabdian masyarakat dan sebagainya. Namun balas jasa tidak sebanding. Hal ini menimbulkan burnout akademik, menurunnya motivasi, dan rendahnya minat generasi muda memilih profesi pendidik. Akibat jangka panjang adalah kualitas SDM hanya diperoleh dari media sosial, yang menurut saya tidak membawa berkah.
Di pihak lain, sekolah dan kampus swasta sering menempatkan pendidik sebagai cost center, bukan value center. Akibat tekanan finansial institusi, gaji guru dan dosen sering menjadi pos paling minim. Padahal inti pendidikan adalah kualitas pengajar, bukan megahnya gedung atau iklan pemasaran.
Sementara itu, pemerintah menuntut guru dan dosen memenuhi standar kompetensi tinggi, tetapi tidak mengimbangi dengan insentif. Keadaan ini menciptakan paradoks: profesionalisasi tanpa kesejahteraan, yang dalam jangka panjang menjadi pemicu degradasi nilai Pendidikan.
Kesenjangan Gaji Guru-Dosen dengan Negara-negara Lain
Mengutip Koran Kompas dan Detik Com (25/11), Pertama: ada 10 negara di dunia ini yang paling sejahtera gurunya dengan kisaran konversi ke rupiah per tahun, yaitu: Luksemburg Rp 2,07 miliar, Swiss Rp 1,5 miliar, Jerman 1,8 miliar, Austria Rp 1,67 miliar Belanda Rp 1,63 miliar, Asutralia Rp, 63 miliar, Amerika Serikat Rp 1,29 miliar, Spanyol Rp 1,16 miliar, dan Denmark Rp 1,29 miliar.
Kedua, profesi dosen baik negeri maupun swasta di negara lain jika dikonversi ke rupiah per tahun rata-rata: Guru Besar (profesor) di Amerika serikat U$160.954/ setara Rp 2,57 miliar/tahun. Swiss Rp 3,55 miliar s/d Rp 4,68 miliar/tahun. Jerman kurang lebih Rp 1,44 miliar/ tahun. Untuk beberapa negara tetangga saja, gaji dosen swasta di Indonesia jauh di bawah standar minimum. Menurut JobStreet, rata-rata gaji dosen di Malaysia berkisar Ringgit Malaysisa (RM: 3.550 s/d RM 6.050; antara Rp ~26–27 juta/ bulan.
Hebatny lagi, Singapura tidak membedakan dosen swasta dan negeri, dimana rata-rata gaji dosen Rp 132 juta-144 juta/bulan. Di Philipina sekitar Rp 7,65 juta/bulan.
Bagaimana dengan gaji guru dan dosen di Indonesia? Berdasarkan PP Nomor 5/2024 yang dirilis Kompas online, gaji pokok PNS (termasuk guru) ditentukan oleh golongan dan masa kerja. Contohnya: guru PNS dengan masa kerja maksimal bisa mendapat gaji pokok hingga Rp 6.373.200 (Golongan IVe). Untuk guru PPPK, Perpres 11/2024 menetapkan gaji pokok maksimal di golongan paling tinggi (golongan XVII, masa kerja 0) sebesar Rp 4.462.500. Tunjangan Profesi Guru (TPG): menurut aturan baru, tunjangan profesi guru diberikan setara 1 kali gaji pokok. Jadi, jika dihitung secara maksimum (ideal): misalnya seorang guru PNS di golongan IVe dengan gaji pokok Rp 6,37 juta, ditambah tunjangan profesi setara gaji pokok, maka total bisa sekitar ~Rp 12,7 juta per bulan (hanya dari gaji pokok + tunjangan profesi, belum tunjangan lain seperti tunjangan keluarga, makan, dsb).
Dosen PNS di Indonesia dengan gaji pokok dosen PNS menurut IDN Times: Golongan IVd (S3) sampai Rp 6.114.500 per bulan. Tunjangan dosen menurut Permendikbud 44/2024: Tunjangan profesi = 1× gaji pokok. Tunjangan khusus bagi dosen juga setara 1× gaji pokok. Tunjangan kehormatan untuk Profesor = 2× gaji pokok. Selain itu: dosen dengan tugas struktural (misalnya Rektor / Dekan) bisa mendapat tunjangan jabatan tambahan: Rektor (jika dosen guru besar) tunjangannya mencapai Rp 5,5 juta / bulan.
Jadi, jika seorang professor akumulasi gaji, tunjangan profesi, strtural mencapai kurang lebih Rp 30 juta per bulan dipotong pajang PPh.
Degradasi Martabat Profesi Jangka Panjang
Ketika pendidik hidup minim secara ekonomi, masyarakat mulai memandang profesi ini kurang prestisius. Akibatnya, banyak intelektual muda terbaik enggan menjadi guru/dosen. Ini adalah kerugian jangka panjang bagi bangsa. Dalam konteks ini, guru dan dosen yang kesulitan memenuhi kebutuhan hidup sering mengambil pekerjaan sampingan, sehingga fokus dan energi untuk mendidik tidak optimal. Untuk menjadi akademisi profesional dibutuhkan: Studi lanjut (S2/S3), Penelitian ilmiah, Papasitas intelektual tinggi, namun gaji rendah.
Hal ini membuat cara pandang generasi guru atau dosen bukan profesi yang menarik secara ekonomi, sehingga regenerasi ilmuwan di Indonesia terancam.
Ironisnya, pendidik yang mencerdaskan bangsa justru menjadi kelompok ekonomi rentan. Ini bertentangan dengan prinsip keadilan sosial Pancasila (sila ke-5 Pancasila).
Solusi Struktural dan Transformasi Kebijakan
Negara harus menggeser paradigma anggaran dari infrastruktur pendidikan menuju investasi pada pendidik. Filosofinya jelas: gedung tidak mencerdaskan manusia—guru dan dosen yang mencerdaskan.
Standardisasi Gaji Nasional diperlukan National Educator Income Standard untuk: guru PNS/PPPK, guru honorer, guru Yayasan dan dosen tetap Yayasan. Standardisasi perlu mencakup: gaji minimum layak nasional, tunjangan kompetensi, asuransi kesehatan, jaminan pensiun/ hari tua.
Reformasi Sistem Sertifikasi dan Tunjangan Profesi
Tunjangan profesi sering terhambat mekanisme administrasi. Reformasi perlu dilakukan agar bersifat: otomatis (auto approval), berbasis kinerja nyata, tidak membebani guru/dosen dengan birokrasi. Demikian pula, pembiayaan Pendidikan harus berbasis keadilan.
Anggaran 20% pendidikan harus diarahkan minimal 40% untuk kesejahteraan tenaga pendidik, bukan birokrasi. Dosen dan guru yang menghasilkan: buku ilmiah, penelitian, inovasi pembelajaran, publikasi yang berdampak dampak sosial (outcome base and benefit/maslahat base) bagi bangsa dan negara. Artinya profesi guru dan dosen, khususnya pada swasta tertentu perlu menerima insentif finansial yang proporsional, adil dan tidak mengadung kezaliman.
Revitalisasi Peran Pemerintah Daerah dan Yayasan
Yayasan pendidikan harus dikembalikan pada semangat nirlaba, bukan komersial. Pemerintah daerah juga dapat membuat tambahan insentif, terutama untuk guru honorer dosen tetap Yayasan pada peguruan tinggi swasta tertentu. Diperlukan gerakan kultural untuk mengembalikan posisi guru dan dosen sebagai profesi terhormat (noble profession). Penghormatan ini bukan hanya simbolik, tetapi berupa jaminan hidup layak.
Solusi yang diperlukan melakukan reformasi menyeluruh—kebijakan, struktur anggaran, tata kelola lembaga Pendidikan, baik swasta maupun negeri. (***)
